Minggu, 20 Mei 2012

Berdzikir dalam perspektif NLP

Pengunjung situs budiman, artikel “Berdo’a sebagai Jembatan Berprestasi” saya perbaiki dengan artikel ini. Hal ini untuk lebih menekankan aspek NLP-nya. Sekaligus untuk menambahi referensi Tips NLP-nya Rekan Krishnamurti yang berjudul “Dzikir, Model Terapi Islami Ampuh dan Aman”.
Berdzikir pada dasarnya adalah mengingat Allah SWT sebagai Sang Khalik (Pencipta). Seorang mentor Entrepreneur University (Mbah Dung) memperkenalkan adanya dzikir “coca-cola”, artinya kapan dan di mana pun selalu mengingat akan kebesaran Allah SWT. Berdizikir merupakan salah satu wujud bersyukur ke hadirat-Nya.
Salah satu bentuk dzikir adalah berdo’a.. Do’a itu merupakan aktifitas dasar manusia untuk berkomunikasi, untuk memohon sesuatu kepada Dzat Yang Maha Berkuasa dalam segala hal karena manusia berada dalam posisi amat lemah dalam segala hal. Bukan sekedar berkomunikasi dengan Dzat Yang Maha Berkuasa, berdo’a adalah salah satu cara membangun mental-spiritual untuk meraih sebuah prestasi.
Berdo’a secara khusuk yang sering disebut berdzikir, membutuhkan kerendahan hati, kihklasan menjalankannya, sekaligus membutuhkan komitmen total untuk membuang segala “kesombongan” emosional dan rasional demi mendapatkan sesuatu yang lebih bermakna. Ketika kita panjatkan do’a khusuk (dzikir), baik secara rutin formal melalui shalat, maupun secara “informal” ketika mengawali sebuah aktifitas, yang sangat diperlukan adalah kekhusukan atau konsentrasi rileks berdo’a.
Kenapa kita dianjurkan berdo’a secara khusuk (berzikir)? Apakah sering berdzikir menjadikan seseorang bisa berprestasi? Saya akan membahasnya secara singkat menurut perspektif NLP.
Kondisi Pikiran
Menurut hemat saya, manajemen kondisi pikiran (state management) menjadi isu sentral dalam NLP. Kondisi pikiran menentukan perilaku seseorang. Bagaimana seseorang memaknai terhadap stimuli dari luar, kondisi pikiranlah yang akan mengolah menjadi persepsi sebelum bertindak. Bila Anda kebetulan lagi dikejar-kejar waktu, sangat terburu-buru, kemudian di tengah jalan Anda dapati seorang pengendara mobil agak ke tengah seenaknya, sepontan Anda akan mengumpatnya. Tetapi berbeda bila kondisi pikiran Anda sedang rileks dan happy, Anda akan bersenandung.
Dari mana terbentuknya kondisi pikiran? Disamping dibentuk oleh pola nafas dan posisi/gerak tubuh, tetapi kebanyakan dibentuk oleh framing, yakni bagaimana Anda memaknai setiap stimuli yang masuk ke pikiran Anda. Kualitas dan kondisi pikiran Anda menentukan makna dari setiap setimuli. Ingat salah satu asumsi dasar NLP adalah “sesuatu di luar diri kita adalah netral adanya”. Pikiran kitalah yang membuat sebuah makna.
Sepanjang pengetahuan saya, ritual keagamaan (Islam khususnya) lebih mengarahkan pada kondisi pikiran yaitu kondisi fitrah. Kondisi netral-positif, tanpa suhudon pada orang lain dan pada Allah. Apa pun yang terjadi hari ini tetaplah bersyukur. Kondisi pikiran fitrah –yang merupakan salah satu bentuk karunia Allah—merupakan kondisi ideal sebelum bertindak/mengambil keputusan. Jangan bertindak/mengambil keputusan ketika kondisi negative, sebuah kondisi dimana setan banyak bermain.
Ritual keagamaan seperti berwudlu (terapi air), shalat dan berdzikir adalah tool-tool menuju kondisi pikiran ideal, pikiran fitrah. Semua tool tadi, hemat saya, mengajarkan pada manusia agar tetap berada pada jalan yang lurus. Tidak terjebak dalam program pikiran yang keliru alias sesat.
Secara spesifik, di dalam Islam diajarkan bahwa hendaknya ambil air wudlu dan lakukan shalat sunah sebelum marah. Maksudnya, ketika kita mengambil air wudlu (terapi air) kondisi pikiran mulai sejuk. Apalagi ketika menjalankan shalat, ketika ruku dan sujud, kondisi pikiran mulai cooling down. Bila asumsi NLP mengatakan bahwa posisi/gerak tubuh mempengaruhi pikiran, maka shalat: ruku dan sujud, jelas-jelas mempengaruhi pikiran yaitu menuju pikiran bersih. Sebab, tidak mungkin pada saat seseorang bersujud kemudian akan mengumpat-umpat orang lain karena marah.
Demikian hanya dengan ritual berdo’a secara khusuk yang disebut dzikir. Tidak lebih dan tidak kurang adalah pengkondisian pikiran ideal. Sebuah kondisi penting sebelum bertindak.
Kondisi Sugestif: Jembatan Berprestasi
Dunia hypnosis memberi sumbangan penting bagi NLP. Baik NLP maupun hypnosis memiliki tujuan yang sama. Membangun, kesadaran baru, program baru pikiran melalui komunikasi bawah sadar. Bedanya, terletak di tools-nya. NLP lebih banyak bermain di pikiran bawah sadar, sedangkan hypnosis langsung menembus bawah sadar.
Apa pun mentode hypnosis, intinya adalah mengkondisikan pikiran sadar ke pikiran bawah sadar. Dari pikiran sadar yang suka menolak melalui argumentasinya ke kondisi tidak menolak (sugestif). Caranya adalah menurunkan gelombang otak dari gelombang beta (12-25 cps) ke alpha (8-12 cps). Melalui terapi musik, ruangan, penampilan penghipnosis higga script (bacaan, narasi hypnosis) adalah dalam rangka menurunkan gelombang otak ke kondisi alpha. Sebuah kondisi pikiran yang bisa disebut kondisi sugestif.
Apa yang terjadi dalam kondisi alpha? Dalam kondisi alpha, atau dalam kondisi meditative dan sugestif, pikiran sedang meregangkan sel-sel syarafnya, sedang mengendurkan diri dari berbagai ketegangan guna mencapai sebuah puncak rileks. Dalam kondisi seperti ini, rileks, semua sel syaraf saling membuka diri untuk saling menyapa dan saling mengisi. Maka disebut pula kondisi sugestif, karena kndisi rileks adalah kondisi siap menerima masukan dari internal dan eksternal. Internal berasal dari bagian-bagian pikiran (pikiran sadar dan bawah sadar, pikiran rasional,emosional, dan spiritual), eksternal berasal dari saran/masukan orang lain.
Pikiran kita akan menjadi pintar atau bodoh sangat tergantung pada frekuensi kondisi sugestif tadi. Semakin sering masuk dalam kondisi sugestif, semakin cerdas pikiran kita. Alasannya, mudah saja. Jika pikiran sadar kita menyapa/menyarankan kepada pikiran bawah sadar: “Belajarlah dengan tekun agar pandai”, lantas pikiran bawah sadar mau menerima dan menjalankannya, maka kita menjadi pandai. Begitu pula, jika pikiran sadar kita mau menerima masukan dari orang lain, tidak menutup diri, maka pikiran kita menjadi lebih tahu dari pada sebelumnya, atau lebih pintar/cerdas. Bukankah kita menjadi pintar karena masukan dari orang lain?
Sekali lagi saya katakan bahwa pikiran pada kondisi sugestif adalah prakondisi menjadi siap cerdas. Disadari atau tidak, berdo’a/berdzikir merupakan salah satu cara menjadikan pikiran kita pada kondisi sugestif, atau kondisi siap cerdas. Kenapa demikian?
Pada saat kita berdoa/berdzikir, sesungguhnya kita sedang menyugesti diri, sedang memasukan sebuah “saran besar” pada pikiran kondisi sugestif kita sesuai dengan isi do’a/dzikir kita masing-masing. Saya katakan do’a sebagai “saran besar” sebab kandungan do’a yang kita kemas atas nama dan atas seijin Allah. Ketika kita berdo’a, “Ya Allah, jadikan hamba mu ini orang yang bertawakal, orang yang sanggup menghadapi segala tantangan hidup”, maka sesungguhnya kita –atas nama Allah—sedang menyugesti diri menjadi manusia bertawakal yang sanggup menghadapi segala tantangan.
Kalau kita peras, inti sari dari permohonan kepada Allah melalui do’a adalah menjadikan diri ini yakin akan bantuan dari Dzat Yang Maha Kuasa. Sebuah keyakinan diri seorang manusia yang amat lemah kepada penciptanya Yang Maha Penolong. Keyakinan diri dengan segala potensi dan usaha seseorang, dan keyakinan diri pada Yang Maha Penolong merupakan kekuatan puncak manusia menuju prestasi yang diinginkan.
Pada saat kita berdo’a sesungguhnya sedang memasukan –secara sugestif) sebuah kekuatan tiada tanding berupa keyakinan total antara keyakinan semua potensi diri dengan keyakinan akan datangnya pertolongan dari Allah. Sebuah keyakinan total ini merupakan kekuatan yang dahsyat untuk meraih berbagai prestasi.
Sepengetahuan saya, tidak ada prestasi apa pun di muka bumi ini yang tidak dibangun di atas keyakinan. Dan berdo’a merupakan cara ampuh untuk membangun keyakinan itu. Pantas kalau Allah Yang Maha Pemurah kemudian berfirman, “Berdo’alah kepada-Ku niscaya akan Kukabulkan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari meyembahku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina-dina” (QS: Al-Muminun, ayat 60).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar