Pengunjung situs budiman, artikel “Berdo’a sebagai Jembatan
Berprestasi” saya perbaiki dengan artikel ini. Hal ini untuk lebih
menekankan aspek NLP-nya. Sekaligus untuk menambahi referensi Tips
NLP-nya Rekan Krishnamurti yang berjudul “Dzikir, Model Terapi Islami
Ampuh dan Aman”.
Berdzikir pada dasarnya adalah mengingat Allah SWT sebagai Sang
Khalik (Pencipta). Seorang mentor Entrepreneur University (Mbah Dung)
memperkenalkan adanya dzikir “coca-cola”, artinya kapan dan di mana pun
selalu mengingat akan kebesaran Allah SWT. Berdizikir merupakan salah
satu wujud bersyukur ke hadirat-Nya.
Salah satu bentuk dzikir adalah berdo’a.. Do’a itu merupakan
aktifitas dasar manusia untuk berkomunikasi, untuk memohon sesuatu
kepada Dzat Yang Maha Berkuasa dalam segala
hal karena manusia berada dalam posisi amat lemah dalam segala hal.
Bukan sekedar berkomunikasi dengan Dzat Yang Maha Berkuasa, berdo’a
adalah salah satu cara membangun mental-spiritual untuk meraih sebuah
prestasi.
Berdo’a secara khusuk yang sering disebut berdzikir, membutuhkan
kerendahan hati, kihklasan menjalankannya, sekaligus membutuhkan
komitmen total untuk membuang segala “kesombongan” emosional dan
rasional demi mendapatkan sesuatu yang lebih bermakna. Ketika kita
panjatkan do’a khusuk (dzikir), baik secara rutin formal melalui shalat,
maupun secara “informal” ketika mengawali sebuah aktifitas, yang sangat
diperlukan adalah kekhusukan atau konsentrasi rileks berdo’a.
Kenapa kita dianjurkan berdo’a secara khusuk (berzikir)? Apakah
sering berdzikir menjadikan seseorang bisa berprestasi? Saya akan
membahasnya secara singkat menurut perspektif NLP.
Kondisi Pikiran
Menurut hemat saya, manajemen kondisi pikiran (state management)
menjadi isu sentral dalam NLP. Kondisi pikiran menentukan perilaku
seseorang. Bagaimana seseorang memaknai terhadap stimuli dari luar,
kondisi pikiranlah yang akan mengolah menjadi persepsi sebelum
bertindak. Bila Anda kebetulan lagi dikejar-kejar waktu, sangat
terburu-buru, kemudian di tengah jalan Anda dapati seorang pengendara
mobil agak ke tengah seenaknya, sepontan Anda akan mengumpatnya. Tetapi
berbeda bila kondisi pikiran Anda sedang rileks dan happy, Anda akan
bersenandung.
Dari mana terbentuknya kondisi pikiran? Disamping dibentuk oleh pola
nafas dan posisi/gerak tubuh, tetapi kebanyakan dibentuk oleh framing,
yakni bagaimana Anda memaknai setiap stimuli yang masuk ke pikiran Anda.
Kualitas dan kondisi pikiran Anda menentukan makna dari setiap
setimuli. Ingat salah satu asumsi dasar NLP adalah “sesuatu di luar diri
kita adalah netral adanya”. Pikiran kitalah yang membuat sebuah makna.
Sepanjang pengetahuan saya, ritual keagamaan (Islam khususnya) lebih
mengarahkan pada kondisi pikiran yaitu kondisi fitrah. Kondisi
netral-positif, tanpa suhudon pada orang lain dan pada Allah. Apa pun
yang terjadi hari ini tetaplah bersyukur. Kondisi pikiran fitrah –yang
merupakan salah satu bentuk karunia Allah—merupakan kondisi ideal
sebelum bertindak/mengambil keputusan. Jangan bertindak/mengambil
keputusan ketika kondisi negative, sebuah kondisi dimana setan banyak
bermain.
Ritual keagamaan seperti berwudlu (terapi air), shalat dan berdzikir
adalah tool-tool menuju kondisi pikiran ideal, pikiran fitrah. Semua
tool tadi, hemat saya, mengajarkan pada manusia agar tetap berada pada
jalan yang lurus. Tidak terjebak dalam program pikiran yang keliru alias
sesat.
Secara spesifik, di dalam Islam diajarkan bahwa hendaknya ambil air
wudlu dan lakukan shalat sunah sebelum marah. Maksudnya, ketika kita
mengambil air wudlu (terapi air) kondisi pikiran mulai sejuk. Apalagi
ketika menjalankan shalat, ketika ruku dan sujud, kondisi pikiran mulai
cooling down. Bila asumsi NLP mengatakan bahwa posisi/gerak tubuh
mempengaruhi pikiran, maka shalat: ruku dan sujud, jelas-jelas
mempengaruhi pikiran yaitu menuju pikiran bersih. Sebab, tidak mungkin
pada saat seseorang bersujud kemudian akan mengumpat-umpat orang lain
karena marah.
Demikian hanya dengan ritual berdo’a secara khusuk yang disebut
dzikir. Tidak lebih dan tidak kurang adalah pengkondisian pikiran ideal.
Sebuah kondisi penting sebelum bertindak.
Kondisi Sugestif: Jembatan Berprestasi
Dunia hypnosis memberi sumbangan penting bagi NLP. Baik NLP maupun
hypnosis memiliki tujuan yang sama. Membangun, kesadaran baru, program
baru pikiran melalui komunikasi bawah sadar. Bedanya, terletak di
tools-nya. NLP lebih banyak bermain di pikiran bawah sadar, sedangkan
hypnosis langsung menembus bawah sadar.
Apa pun mentode hypnosis, intinya adalah mengkondisikan pikiran sadar
ke pikiran bawah sadar. Dari pikiran sadar yang suka menolak melalui
argumentasinya ke kondisi tidak menolak (sugestif). Caranya adalah
menurunkan gelombang otak dari gelombang beta (12-25 cps) ke alpha (8-12
cps). Melalui terapi musik, ruangan, penampilan penghipnosis higga
script (bacaan, narasi hypnosis) adalah dalam rangka menurunkan
gelombang otak ke kondisi alpha. Sebuah kondisi pikiran yang bisa
disebut kondisi sugestif.
Apa yang terjadi dalam kondisi alpha? Dalam kondisi alpha, atau dalam
kondisi meditative dan sugestif, pikiran sedang meregangkan sel-sel
syarafnya, sedang mengendurkan diri dari berbagai ketegangan guna
mencapai sebuah puncak rileks. Dalam kondisi seperti ini, rileks, semua
sel syaraf saling membuka diri untuk saling menyapa dan saling mengisi.
Maka disebut pula kondisi sugestif, karena kndisi rileks adalah kondisi
siap menerima masukan dari internal dan eksternal. Internal berasal dari
bagian-bagian pikiran (pikiran sadar dan bawah sadar, pikiran
rasional,emosional, dan spiritual), eksternal berasal dari saran/masukan
orang lain.
Pikiran kita akan menjadi pintar atau bodoh sangat tergantung pada
frekuensi kondisi sugestif tadi. Semakin sering masuk dalam kondisi
sugestif, semakin cerdas pikiran kita. Alasannya, mudah saja. Jika
pikiran sadar kita menyapa/menyarankan kepada pikiran bawah sadar:
“Belajarlah dengan tekun agar pandai”, lantas pikiran bawah sadar mau
menerima dan menjalankannya, maka kita menjadi pandai. Begitu pula, jika
pikiran sadar kita mau menerima masukan dari orang lain, tidak menutup
diri, maka pikiran kita menjadi lebih tahu dari pada sebelumnya, atau
lebih pintar/cerdas. Bukankah kita menjadi pintar karena masukan dari
orang lain?
Sekali lagi saya katakan bahwa pikiran pada kondisi sugestif adalah
prakondisi menjadi siap cerdas. Disadari atau tidak, berdo’a/berdzikir
merupakan salah satu cara menjadikan pikiran kita pada kondisi sugestif,
atau kondisi siap cerdas. Kenapa demikian?
Pada saat kita berdoa/berdzikir, sesungguhnya kita sedang menyugesti
diri, sedang memasukan sebuah “saran besar” pada pikiran kondisi
sugestif kita sesuai dengan isi do’a/dzikir kita masing-masing. Saya
katakan do’a sebagai “saran besar” sebab kandungan do’a yang kita kemas
atas nama dan atas seijin Allah. Ketika kita berdo’a, “Ya Allah, jadikan
hamba mu ini orang yang bertawakal, orang yang sanggup menghadapi
segala tantangan hidup”, maka sesungguhnya kita –atas nama Allah—sedang
menyugesti diri menjadi manusia bertawakal yang sanggup menghadapi
segala tantangan.
Kalau kita peras, inti sari dari permohonan kepada Allah melalui do’a
adalah menjadikan diri ini yakin akan bantuan dari Dzat Yang Maha
Kuasa. Sebuah keyakinan diri seorang manusia yang amat lemah kepada
penciptanya Yang Maha Penolong. Keyakinan diri dengan segala potensi dan
usaha seseorang, dan keyakinan diri pada Yang Maha Penolong merupakan
kekuatan puncak manusia menuju prestasi yang diinginkan.
Pada saat kita berdo’a sesungguhnya sedang memasukan –secara
sugestif) sebuah kekuatan tiada tanding berupa keyakinan total antara
keyakinan semua potensi diri dengan keyakinan akan datangnya pertolongan
dari Allah. Sebuah keyakinan total ini merupakan kekuatan yang dahsyat
untuk meraih berbagai prestasi.
Sepengetahuan saya, tidak ada prestasi apa pun di muka bumi ini yang
tidak dibangun di atas keyakinan. Dan berdo’a merupakan cara ampuh untuk
membangun keyakinan itu. Pantas kalau Allah Yang Maha Pemurah kemudian
berfirman, “Berdo’alah kepada-Ku niscaya akan Kukabulkan bagimu.
Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari meyembahku akan
masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina-dina” (QS: Al-Muminun, ayat 60).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar